(dimuat di www.edunews.id, pada 6 September 2016)
Terima kasih Guruku
Kini sudah 20 tahun lamanya,
Sebuah perjalanan aku lalui,
Meski baru sampai separuhnya,
Namun telah ku temukan lautan kata-kata itu,
Wasiatmu saat aku masih duduk di sekolah dasar,
Masih saja ku ingat: “ pergilah nak, kejarlah mimpi setinggi bintang”,
Dengan bodoh aku telusuri makna kata-katamu,
Jauh ku langkahkan kaki, menyeberangi laut, mendaki bukit
Meninggalkan diriku dari ladang- ladang dan sawahku,
Langit di daerah rantau memang lebih biru adanya,
Bagai kanvas putih, yang mewarnai hari-hariku dengan sejuta warna,
:begitu indahnya menyelami mimpi dan mengecap manisnya.
Tawa beliaku terukir di tembok salah satu universitas,
Lembaran kertas, jadi jejak-jejak anak pantai naik kelas,
Dengan mimpi bodoh itu,
Aku beli kembali keceriaan yang tertunda di kampungku dulu,
Kini saatnya aku pulang.
Karena aku ingin mendekap hangatnya ombak lautan,
Kampungku,
Tempat dimana aku mengembalikan kerinduan
:padamu guruku.
Cilacap, 2 September 2016
Surat Tugas
Kau adalah pahlawan itu,
Guru yang terpilih dari jutaan guru yang bertahan
Kau tinggalkan masa mudamu di kota
Gaji ketiga belasmu kau gadaikan pada belantara hutan
Demi memenuhi panggilan orang pinggiran
Suara- suara orang pinggiran, yang tak kau kenal
Bahkan telingamu pun tak pernah mendengar orang itu,
Hanya kau meyakini satu hal,
:nurani memaksamu untuk pergi.
Nurani yang begitu pilu menangisi ‘orang pinggiran itu’
Mereka hidup dan mendiami hatimu,
Kau memenuhi panggilan itu, menemui suara hatimu
Yang terlebih dahulu pergi ke sana,
Cilacap, 2 September 2016
Lagu Indonesia Raya
Di balik pegunungan itu terdapat rumah bambu sederhana,
Yang doyong tiap angin bergoyang,
Dan bocor tiap hujan turun,
Karena atapnya hanya sebelah, sebelahnya lagi tidak ada
Saat membangun rumah bambu ini, kami kekurangan bambu.
Inilah rumah bambu tanpa jendela, dan hanya ada setengah atapnya saja,
Di sana kami berkawan bersama cahya mentari,
Yang membakar kulit kami. Namun tak menyurutkan mimpi kami untuk belajar
Mengejar masa depan
Tawa dan canda tawa kami, membangunkan rumput ilalang
Saat kami terbata-bata membaca dan berbicara bahasa Indonesia,
Logat bahasa orang Jawa sana,
Dan untuk pertama kalinya, kami menyanyikan lagu bahasa Indonesia
:yakni Indonesia Raya
Lagu asing- yang jarang dinyanyikan di tanah mama
Dari lagu itu kami mengerti cita-cita kami sama,
Mimpi kami sama
Meski kami berbeda-beda
Cilacap, 2 September 2016
Biodata
Winda Efanur FS,alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, seorang yang gemar merangkai kata menjadi kalimat. Penulis meyakini satu kalimat yang ditulis dengan jiwa bisa bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Kontak penulis, email : efanurw@gmail.com.
Terima kasih Guruku
Kini sudah 20 tahun lamanya,
Sebuah perjalanan aku lalui,
Meski baru sampai separuhnya,
Namun telah ku temukan lautan kata-kata itu,
Wasiatmu saat aku masih duduk di sekolah dasar,
Masih saja ku ingat: “ pergilah nak, kejarlah mimpi setinggi bintang”,
Dengan bodoh aku telusuri makna kata-katamu,
Jauh ku langkahkan kaki, menyeberangi laut, mendaki bukit
Meninggalkan diriku dari ladang- ladang dan sawahku,
Langit di daerah rantau memang lebih biru adanya,
Bagai kanvas putih, yang mewarnai hari-hariku dengan sejuta warna,
:begitu indahnya menyelami mimpi dan mengecap manisnya.
Tawa beliaku terukir di tembok salah satu universitas,
Lembaran kertas, jadi jejak-jejak anak pantai naik kelas,
Dengan mimpi bodoh itu,
Aku beli kembali keceriaan yang tertunda di kampungku dulu,
Kini saatnya aku pulang.
Karena aku ingin mendekap hangatnya ombak lautan,
Kampungku,
Tempat dimana aku mengembalikan kerinduan
:padamu guruku.
Cilacap, 2 September 2016
Surat Tugas
Kau adalah pahlawan itu,
Guru yang terpilih dari jutaan guru yang bertahan
Kau tinggalkan masa mudamu di kota
Gaji ketiga belasmu kau gadaikan pada belantara hutan
Demi memenuhi panggilan orang pinggiran
Suara- suara orang pinggiran, yang tak kau kenal
Bahkan telingamu pun tak pernah mendengar orang itu,
Hanya kau meyakini satu hal,
:nurani memaksamu untuk pergi.
Nurani yang begitu pilu menangisi ‘orang pinggiran itu’
Mereka hidup dan mendiami hatimu,
Kau memenuhi panggilan itu, menemui suara hatimu
Yang terlebih dahulu pergi ke sana,
Cilacap, 2 September 2016
Lagu Indonesia Raya
Di balik pegunungan itu terdapat rumah bambu sederhana,
Yang doyong tiap angin bergoyang,
Dan bocor tiap hujan turun,
Karena atapnya hanya sebelah, sebelahnya lagi tidak ada
Saat membangun rumah bambu ini, kami kekurangan bambu.
Inilah rumah bambu tanpa jendela, dan hanya ada setengah atapnya saja,
Di sana kami berkawan bersama cahya mentari,
Yang membakar kulit kami. Namun tak menyurutkan mimpi kami untuk belajar
Mengejar masa depan
Tawa dan canda tawa kami, membangunkan rumput ilalang
Saat kami terbata-bata membaca dan berbicara bahasa Indonesia,
Logat bahasa orang Jawa sana,
Dan untuk pertama kalinya, kami menyanyikan lagu bahasa Indonesia
:yakni Indonesia Raya
Lagu asing- yang jarang dinyanyikan di tanah mama
Dari lagu itu kami mengerti cita-cita kami sama,
Mimpi kami sama
Meski kami berbeda-beda
Cilacap, 2 September 2016
Biodata
Winda Efanur FS,alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, seorang yang gemar merangkai kata menjadi kalimat. Penulis meyakini satu kalimat yang ditulis dengan jiwa bisa bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Kontak penulis, email : efanurw@gmail.com.
Komentar
Posting Komentar