Pagi ini tetanggaku beramai-ramai mengunjungi rumah Bude. Anak Bude
dari Jepang telah pulang. Para tetangga bersilaturahim kepadanya. Ibu dan
bapaku pun kesana. Ibuku sangat senang mendapat oleh-oleh dari Jepang. Aku
dibagikannya, bagiku plastik tulisan huruf Jepang ini sama saja dengan jajanan
di Indonesia. Ya, cuma beda merk.
Terlepas dari jajanan itu, satu pemandangan kontras, mendadak rumah
yang biasa sepi menjadi ramai. Bude menghuni rumah dengan suaminya Pakde.
Keduanya sudah lanjut usia. Bahkan Pakde sudah pikun. Setiap harinya rumah Bude
seperti rumah kosong. Tapi tidak untuk saat ini, keceriaan tengah menyelimuti
keluarga Bude. Anak kesayangannya telah pulang.
Ahmad nama anak Bude datang bersama istri dan anaknya. Sudah lebih
dari delapan tahun Ahmad tinggal di Jepang. Dia salah satu anak beruntung
dibandingkan saudara kandungnya. Mereka hanya menamatkan pendidikan sekolah
menengah atas. Sementara dia dapat sekolah sampai luar negeri. Tidak
mengherankan pasalnya dia tergolong anak cerdas. Sejak SMA dia sudah mengikuti
olimpiade dan kompetisi tingkat internasional. Meski begitu sikapnya biasa
selayak orang desa yang lainnya.
Hingga berbagai tawaran beasiswa datang
padanya. Setauku dia mengambil beasiswa di salah satu universitas kenamaan di
Depok. Selang setahun menimba ilmu di sana. Dia mendapat rekomendasi
melanjutkan studi di Negeri Matahari Terbit.
Rencana studinya sempat mendapat pertentangan dari orang tua. Tapi
kebulatan tekad membawanya tetap pergi. Studi jenjang pertama diselesaikannya
dengan lancar. Dia pun melanjutkan S2 di Jepang. Hingga tiba waktu studinya
usai. Dia tidak pulang ke tanah air. Dia pulang sebentar untuk menikah,
sesudahnya kembali ke Jepang. Dia bekerja di Jepang. Opsi kerja di Jakarta
ditepiskannya.
Iya, begitulah Ahmad kakak kelasku yang cerdas. Aku tidak bisa
bayangkan betapa bahagianya Bude saat ini. Kerinduannya terbayar lunas. Masih
saja tergiang-ngiang di telingaku. Sewaktu dahulu, Bude curhat kepada
orangtuaku. Dia merindukan anaknya pulang. Dia menginginkan Ahmad kerja di
Jakarta. Tapi dia tetap terbang. Rentang jarak yang jauh dan minimnya pemahaman
teknologi. Ibu dan anak itu tidak pernah berkomunikasi.
Walaupun saat ini ada
Skype. Bahkan saat Bude kecelakaan sebulan yang lalu. Semua anaknya
mengunjunginya kecuali Ahmad. Aku dan ibu sempat mengunjungi Bude. Dia
menceritakan kesepiannya. Begitulah perasaan seorang ibu, meskipun kelima
anaknya berada di sisinya, tetapi satu anak dirantau seolah belahan jiwanya
hilang.
Itu baru Bude belum lagi Pakde. Suatu ketika Bapaku bercerita.
Seusai mereka sholat Dhuhur berjamaah di masjid. Pakde menangis di dalam
doanya. Bapaku bertanya alasannya menangis. Jawab Pakde singkat.
" Ahmad baru sehari pulang (cuti), sore nanti mau berangkat ke
Jepang lagi," kata Pakde.
Aku ikut sedih mendengar cerita itu. Mungkin ini perbandingannya di
desa dan di kota. Sewaktu aku di kota, sering santer ku dengar para orang tua
yang membanggakan prestasi anaknya. Seabrek medali hingga kuliah di luar
negeri. Prestasi anak jadi prestise bagi orang tua. Berbanding terbalik dengan
di desa, seperti Budeku tidak bercerita tentang prestasi Si Ahmad justru
mengeluhkan kepulangannya.
Ya wajar, pemikiran di desaku masih tradisional
" Mangan ora Mangan Sing Penting Kumpul", arti kebersamaan yang
dijunjung.
Sekiranya di pemikiran orang tua desaku lebih senang anaknya turun
ke sawah atau membantu ke ladang.
Seperti Pakde yang memiliki kebun singkong
yang luas berharap anaknya juga ke ladang.
Iya begitulah pemikiran. Bukan maksud menjustice bagiku, pemikiran
tradisional ini tidak berlaku. Pasalnya masyarakat itu dinamis. Masyarakat
berubah seiring perubahan teknologi dan informasi. Apalagi kebutuhan pendidikan
salah satu faktor migrasi masyarakat.
Atau satu kutipan ayat "Bertebaranlah di muka bumi, untuk
mencari rezeki Tuhanmu," sudah jelas, ayat Al-Quran melegitimasi umat
Islam menyebar (bergerak dinamis), apalagi anak laki-laki. Mencari penghidupan
di luar daerahnya hal yang biasa. Panggilan mengamalkan ilmu di luar daerah
lebih utama dibandingkan berada dalam tempurung katak, dimana ilmu itu kurang
bermanfaat.
Wallohu 'alam.
Cilacap, 25 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar