Mandiri di Negeri Sendiri


Apa kabar Indonesia hari ini ? Tentunya media lantang di garda depan memotret sejuta wajah Indonesia, dari pagi hingga petang media tak hentinya menyoal kacaunya kondisi bangsa dari soal koruptor hingga penjual kompor, dari macetnya perekonomian sampai maling jemuran. Kegalauan (baca: carut-marut) kondisi bangsa. Sungguh memiriskan padahal 69 tahun lamanya Indonesia merdeka, agaknya di usia senja itu, Indonesia layaknya seorang kakek bijak yang mengerti arah dan tujuan bangsa. Tak pelak lakon kita sekarang hanya sibuk menjadi tukang tambal ban, dimana roda-roda kehidupan bangsa telah berlubang bahkan nyaris kempes.
Merevitalisasikan Jati Diri Bangsa 
Arus globalisasi dan modernisasi dunia telah menyamarkan jati diri bangsa. Image dasar yang melekat pada bangsa, “Produk-produk baru lebih maju. Produk apapun bisa laku dijual, dari kebutuhan primer-sekunder hingga produk ideologi (kapitalisme), budaya dan religi (sekte-sekte agama) pun laku keras. Sekitar tahun 2000-an Film India booming di Indonesia dan sekarang pesona K-pop menggila. K-pop bukan hanya merubah style pakaian bahkan genre musik K-Pop mampu menggeser musik anak negeri.
Dari hal di atas lantas kita bertanya, siapakah Indonesia, kenapa kita bangga menjadi second adapter lalu potensi Indonesia yang bias kita banggakan? Pertanyaan ini bukan meminta jawaban melainkan kesadaran. Sebenarnya Nilai-nilai jati diri bangsa, secara gamblang tertera pada pancasila dan dituangkan pada Undang-Undang Dasar 1945, salah satunya: tujuan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi telah jelas identitas bangsa ini, dari kesadaran sense of belonging ini dapat menangkal memicu segala aktivitas kebangsaan yang becorak keindonesiaan.
Pribadi Bangsa yang Mandiri
Jika dirumuskan “galaunya” bangsa dapat dibagi dua, yakni masalah ideologis dan masalah humanis.
Pertama masalah ideologis. Melanjutkan dari kesadaran sense of belonging di atas, dapat menangkal gempuran ideologi luar (tidak seirama dengan pancasila) seperti korupsi dan kapitalisme. Spirit sense of belonging kita sinergikan dengan potensi bangsa kita. “Orang bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu di tanam jadi tanaman”, masih ingat dengan syair polos dari Koes Plus ini, simpel kata semua yang ada adalah potensi bangsa. Misal barang tambang kerikil itu aset ekspor kita, lihat saja kerikil Gunung Merapi kita  kualitasnya bagus belum lagi golongan-golongan tambang yang lain bahkan bidang kekayaan yang lain.
Ke dua masalah humanis. Copass dari atas, pancasila lagi solusi kita. Isu-isu humanis yang mencuat seperti kesetaraan hak dan kewajiban, solusinya pada pasal 28 A-J (tentang hak) dan pasal 30 (kewajiaban) UUD 1945. Mengenai isu humanis lainnya tentunya dapat dipecahkan. Lagi, spirit sense of belonging mengoreksi kembali amaliyah kenegaraan kita dan mengarahkan kekuatan humanisasi (SDM) bangsa. Mengingat SDM merupakan basic kemajuan bangsa, dari intelektual dan tangan SDM kita riwayat Indonesia dituliskan nantinya.
Sekali lagi berbicara soal potensi bangsa tentunya kembali lagi pada identitas (landasan dan tujuan) bangsa Indonesia sendiri. Setelah kita memiliki rasa kebangsaan, mutlak saja bakat terpendam, potensi bangsa yang terkubur dapat tergugah kembali. Sepanjang jarak Sabang sampai Merauke sejauh itu pula potensi bangsa. Sejarah memang tak mungkin berulang, tapi Insyallah di bawah naungan pancasila, kita bersama mengukir sejarah kejayaan Indonesia di masa mendatang. Amin.

Komentar