Embun di Balik Jendela



Embun di jendela kamarku lebih tebal dari hari biasanya,terdengar olehku suara berbisik,ku bangkit dari ranjang mendekati jendela dan kusentuhkan tangan ku pada jendela…
Benar bisikan itu dari embun..
Embun bercerita tentang malam panjang yang basah,sekawanan awan hitam memenjara dewi bulan,melumat dayang-dayang gugusan langit.
Aku semakin tertarik dengan ceritanya,dia menatapku sejenak dan melanjutkan ceritanya.Malam itu kilat berhamburan,angin kencang menggerak kerak bumi hingga bulu roma bumi terhenyak..
Sesekali intonasinya meninggi menirukan suara hailintar,bulatan wajah embun menampakan rona seram
Aku merinding dibuatnya,
“Dwwarrr…” teriaknya
Sekujur tubuhku kaku gemetar sekejap apa yang dikatakan embun benar-benar terjadi.Langit pagi yang terang menjadi gelap diiringi kilat menyambar-nyambar,angin berlari kencang menerjang apapun..
Dan aku…
Sunyi.
            “Hiks..hiks..hiks..”
Sayup-sayup ku dengar suara tangisan,perlahan ku buka mata lalu aku melihat dari kertas yang berwarna-warni berbentuk bintang-bintang memenuhi langit-langit ruangan ini,
Dimanakah aku ??
Aku bangun dari ketidaksadaranku,ku arahkan pandangan ke semua sudut  mengamati ruangan ini,tembok ruangan ini penuh warna merah sedangkan sebelah kirinya warna graduasi hijau yang memutih,di depanku berbaris rapi meja dan kursi.
Ini taman kanak-kanak..,batinku
“Hiks..hiks..hiks..”
Tangisan itu membuyarkan lamunanku,aku berjalan perlahan sambil celingukan mencari sumber suara.
Dimanakah suara itu??
Pasti di sini..aku singkapkan sebuah meja.Tepat.di kolong meja ada seorang anak perempuan menangis lalu ku mencoba menyentuh pundaknya tap..tapii aku tak mampu menggapainya,
 “adik kecil jangan menangis,pintaku”
Tak ada respon,lalu aku berteriak
 “Hey,..adik kecil ”!
aku berteriak puluhan kali tapi dia menuli.Suararaku tidak bisa di dengarnya,keberadaanku di sini tak jauh berbeda dari bayangan angin lalu dan Tubuhku layaknya cahaya yang menembus materi bening.Melihat kondisi ini semakin mengkerucutkan keingintahuanku dan yang tak bisa aku habis  pikir…entah..aku merasakan sakit bila dia sakit.
Sunyi.
            Aku hanya bisa mengamati,aku tidak tahu mimpikah ini,ataukah ini kematianku..dan ini bagian dari jalan menujuNya.Terbesit keinginan untuk kembali ke dunia ku sekarang tapi entah ada yang memberatkanku di sini.
            Tak lama berselang,anak-anak yang lain memasuki ruangan,di barisan terakhir dua orang wanita setengah baya tengah membimbing mereka duduk ke tempat masing-masing,mungkin mereka habis istirahat,bisikku.
            Pelajaran menggambar pun dimulai.Mereka asyik menodai kesucian bidang putih persegi panjang dan tawa canda mewarnai suasana,tangisan anak itu  tak terdengar bagai hilang tertiup angin.Ingin rasanya aku berteriak,
“Bu guru muridmu menangis di bangku belakang…!!”
 Tapi mereka seolah menulikan telinga dari isak tangis anak itu.
“Bu,guru..pengin pipis”,Rengek salah seorang anak.
 “Iya nak sebentar”,menghampiri anak tadi
Ibu guru itu mengantar anak tadi ke kamar mandi,pas di barisan belakang Ibu guru menghentikan langkahnya,mungkin dia mendengar tangisan anak itu lalu dia mengangkat sebuah meja.
“ Astaghfirlahh..Dilla…!”,pekik ibu guru
            Ibu guru itu membantu anak itu berdiri,di dudukannya pada sebuah bangku,di belai lembut rambut anak itu.
“Dilla,kenapa kamu menangis??”
Dilla ?? aku bagai tersengat listrik mendengar nama itu,berarti dia adalah…
Dilla hanya diam sambil menggelengkan kepala,sesekali Dilla menatap embun jendela di sampingnya.
Sunyi.
“Ha..ha..ha…”
Terdengar suara tertawa.Apalagi ini? Keluhku.
Lambat laun tawa-tawa renyah itu merintih perlahan,
Di sini aku melihat seorang anak perempuan yang terjatuh dari sepedanya…dan..anak itu Dilla,
“Hiks..hiks..hiks..”,ibuuuu…!
Dilla menangis sambil,memanggil ibunya..entar ibunya berarti..ibunya..??
Tak selang lama tampaklah sosokku ibu yang lari tergopoh-gopoh mengangkat Dilla yang terjatuh dari sepedanya.
Sunyi.
Ibu..?? Wanita paruh baya itu ibuku,ibu yang dua puluh tahun lalu ku rindukan ciumnya…ya,karena trauma suatu tragedi aku kehilangan memoriku tentangnya padahal aku sangat…”
Dilla,kamu tidak apa-apa?
Ibu membopong Dilla tangannya yang lembut menyentuh muka Dilla yang rapuh.
“Dill,ibu boleh Tanya sesuatu,tadi bu guru bilang katanya di kelas kamu menangis,kenapa?”
“Hiks..hiks..hiks,Dilla tidak menjawab,dia malah mengeraskan volume tangisannya.
Diciumnya kening Dilla berkali-kali,sedang aku hanya terpaku dengan derasnya airmataku.
“Ibuu..Dilla ta..takut..,Terbata-bata.
Takut apa?
Dilla takut ibu pergi,Dilla takut kata Emi,Isa dan Riana..kalau di arab itu banyak orang jahat,katanya unta-unta di sana buas jadi mereka berbuat jahat..ibu jangan ke sana ,ibu jangan pergi,Dilla mohon ibu jangan pergi..”
Tangisan Dilla semakin menjadi.
Aku berlari merangkul keduanya,kami bertiga pun menangis bersama…
            Entah apa yang dikatakan embun..
Dialah sosok yang ku nanti putihnya..ibu yang putih menyinari malam bila gelap gulita..ibu yang putih meneduhkan serak-serak senja yang usang dan ibu yang putih bersyair cinta kala semesta alpa.
Sunyi.
Aku dapati diriku mengambang surialis materi alam,jauh dari benak terdalam aku ingin disini melihat wajah ibu,menciumi wajah ibu selamanya.
Tentang embun,embun hanya butiran-butiran sisa lukisan malam yang- telah ku lewati tanpa getar dan pagi ini pun masih sama.
Sunyi.

Yogyakarta,25 Oktober 2011.

Komentar