Langsung ke konten utama

Kak, Masih Ingat?



                               I.            Sepuluh
Kak, kamu ingat
Sepuluh tahun yang lalu kita mengadu rumus “apel” Newton. Berjuta partikel rekayasa semesta lekat menumbuk rahim bumi. Kala itu nilai ulangan fisikaku mengekor jumlah jari tangan. Angka satu-nol yang kamu jajarkan memperdalam lubang otakku. Entah refleksi otak kiri terlalu rumit menejemahkan teka-teki yang dimuntahkan alam padaku. Usai ulangan, rentetan rumus di papan tulis menghantam, Korelasi phi mencekat langkahku untuk membawa sekeping nol. Aku jilati kebodohanku-aku berteriak mengambil penghapus- aku terhapus
Kak, kamu ingat,.
Aku berjalan membuntuti bayangmu tanpa kamu sadari, setengah bayangmu aku patahkan walaupun tangis selalu menggagalkan. Bayang meluruhkan cahya padaku, aku tak mau. Tepis sangsi kapasitas pikirku melambungkan kerikil yang setiap malam memisahkan kasih sayang ibu
Lagi aku terhapus
                            II.            Mei
Di sini bumi tak bulat, kak. Sudut bumi menikamku dengan erangan sel-sel besi yang beradu. Wajah bulam malam ini layaknya bumi berbentuk persegi membakar otakku.  Bau hangus pembakaran menggeliat di atas udara. aku abu
Kak, aku tak menyesali kepergianku ini ke Jiran, toh aku cuma ingin melihat ibu melihatku. Dengan tentengan koper setidaknya ibu melambaikan cintanya untukku. Sekalipun tidak,  menggoreskan sedikit namaku di ingatannya itu sudah cukup. Ibu, ibu mungkinkah esok dia mengenal namaku?
Kak, walaupun sunyi memasungku, aku tak pernah menangis. Aku tidak punya mata sejak kasus itu, dunia menumpahkan gerhana hitam-mataku membuta. Hanya abu. Kak, kenapa setiap detik kini bergulir menjadi sebuah belati yang menusuk nafasku. Padahal di ruangan ini tak ada jam, aku benci dengan angka bahkan aku telah membunuh waktu, itu lebih baik sebelum waktu membunuhku
Aku dihapus,kak..
Kak, aku semakin kedinginan. Tenang kak, kabar ku di sini baik. Pun, ulasan peruntungan hidupku layaknya gravitasi bola lampu Newton. Benda kasar sepertiku pun teronggok batang bumi dengan bulatan-bulatan koma. Kini waktu tak mungkin mengulang kisahnya, sepuluh tahun tak ubah permainan angka, dan setiap detik aku mengacaknya
Kak, aku baru sadar angka nol tak selamanya bulat. Kak, satu permintaan terak*..tolong jangan bilang sama ibu aku kedinginan di sini
Salam rindu yang terdalam dari adikmu, Mei
Cilacap, 23 Januari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pagi, Bude dan Kesepian..

Pagi ini tetanggaku beramai-ramai mengunjungi rumah Bude. Anak Bude dari Jepang telah pulang. Para tetangga bersilaturahim kepadanya. Ibu dan bapaku pun kesana. Ibuku sangat senang mendapat oleh-oleh dari Jepang. Aku dibagikannya, bagiku plastik tulisan huruf Jepang ini sama saja dengan jajanan di Indonesia. Ya, cuma beda merk. Terlepas dari jajanan itu, satu pemandangan kontras, mendadak rumah yang biasa sepi menjadi ramai. Bude menghuni rumah dengan suaminya Pakde. Keduanya sudah lanjut usia. Bahkan Pakde sudah pikun. Setiap harinya rumah Bude seperti rumah kosong. Tapi tidak untuk saat ini, keceriaan tengah menyelimuti keluarga Bude. Anak kesayangannya telah pulang.

pra-judul

Yogyakarta, 11 November 2005..... Bagi kebanyakan orang, bertambahnya usia adalah moment yang membahagiakan, berpesta ria merayakan dengan sanak saudara ataupun teman-teman. Tetapi tidak halnya denganku, menginjak usia 20 tahun ini aku semakin kerdil menghadapi dunia. Usia 20 tahun bagi kebanyakan orang, peralihan dari remaja ke dewasa tetapi sekali lagi aku menyanggahnya. Bagiku usia hanyalah deretan angka yang tiap tahunnya justru menambah penderitaanku. Aku tak merasakan arti kebahagiaan dalam bingkai 20 tahun usiaku. Tetap saja aku merasa Tuhan tidak adil. Di angka 20 tahun ini, bagiku lebih menjadi saksi bisuku. Betapa selama kurun waktu itu ibu meniggalkanku hingga aku bergelut sendiri meraba kelam kehidupan, menahan dingin kesunyian,   dan gemetar setiap kali malam-malam merambat-aku hanya menggigil sepi tanpa pelukan seorang ibu. Dan malam ini aku harus membuka lagi luka lamaku, walaupun begitu menyesakkanku, aku tetap lirih melatunkan salam cintaku dalam lantu...

Masjidnya megah tapi...

Satu hal yang aku cari dari setiap perjalanan adalah masjid. Entah saat mengendarai sepeda motor atau naik bus umum. Aku akan melirik kanan kari, bila yang ku lirik masjid. Pandanganku tertahan menatap menaranya, gaya arsitekturnya dan suasananya. Gaya arsitektur masjid sesuai dengan masyarakat setempat. Misal masjid kota, terletak di alun-alun kota bentuk dan ukuran bisa megah, besar, adesoris kakigrafi dan lekat simbol Islam lainnya. Semakin ke tepi, masjid bisa dihitung dengan jari. Yang banyak musola-musola kecil perkampungan. Bila daerah kota, arsitekturnya bagus, ke tepi lagi musola bangunan biasa. Kadang sampai tidak terawat. Tapi sejauh pengamatanku masjid dan musola tumbuh subur di masyarakat. Bisa dikatakan selisih jarak antar satu masjid dengan musola tidak ebih dari 400 Meter. Ini penghitungan perkampungan normal. Sayangnya kuantitas jumlah masjid berbanding terbalik degan jumlah jamaahnya. Kalau sholat berjamaah, makmum palig banyak satu larik shof sholat. Palin...