Langsung ke konten utama

Perayaan Kemerdekaan

 Part l

Foto ini diambil ketika saya KKN di daerah Magelang, saat memeperingati 17 agustus. Mungkin terdengar "geli" ketika peristiwa sakral 17 Agustus kini hanya berisi hiburan dan tontonan. Istilah peringatan biasa dipakai untuk acara resmi sekolahan atau institusi terkait. Kegiatan pra- ataupun pasca Hari H itu sekolah dan lembaga formal lainnya secara rutin mengadakan lomba-lomba keakraban dan puncaknya upacara bendera yang dihadiri para praktisi pendidikan. Hal yang sama juga diadakan di masyarakat umum. Panitia desa membuat aneka macam lomba guna menyambut 17an.

Secara kasar terlihat pergeseran istilah dari peringatan menjadi perayaan 17an. Sebenarnya tidak ada yang salah hanya saja dari diksi pemakaian kata juga membawa implikasi makna yang berbeda. Penggunaan istilah perayaan lebih mengarah pada kegiatan hiburan. Sedangkan istilah peringatan di dalamnya masih melekat makna history perjuangan 17 Agustus.

Makna Kemerdekaan
Bagaiamana seseorang dikatakan merdeka, atau suatu bangsa dikatakan merdeka ?
sederhananya merdeka diartikan ketika seseorang atau negara berada dalam kondisi bebas, berdiri secara mandiri menentukan nasibnya sendiri tanpa tekanan dari pihak lain. Kemerdekaan di sini berupa perebutan kembali kedaulatan Indonesia dari tangan penjajah kala itu. Maka secara historis tanggal 17 Agustus 1945 adalah tonggak kemerdekaan Indonesia. Sang saka Merah Putih dengan angkuhnya berdiri tegak mengibas-ngibas tubuhnya mengikuti arah angin. Namun itu hanya simbolis belakan, kita (baca : Bangsa Indonesia) masih berbenah mengurus "rumah baru" ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
dan diusianya yang senja ini 68 tahun. Kita masih berkaca melihat, membaca dan merasakan "kemerdekaan". Kemerdekaan yang dengannya kita menuju masyarakat yang adil dan makmur (pembukaan UUD 1945).

Yogyakarta, 22 Januari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pagi, Bude dan Kesepian..

Pagi ini tetanggaku beramai-ramai mengunjungi rumah Bude. Anak Bude dari Jepang telah pulang. Para tetangga bersilaturahim kepadanya. Ibu dan bapaku pun kesana. Ibuku sangat senang mendapat oleh-oleh dari Jepang. Aku dibagikannya, bagiku plastik tulisan huruf Jepang ini sama saja dengan jajanan di Indonesia. Ya, cuma beda merk. Terlepas dari jajanan itu, satu pemandangan kontras, mendadak rumah yang biasa sepi menjadi ramai. Bude menghuni rumah dengan suaminya Pakde. Keduanya sudah lanjut usia. Bahkan Pakde sudah pikun. Setiap harinya rumah Bude seperti rumah kosong. Tapi tidak untuk saat ini, keceriaan tengah menyelimuti keluarga Bude. Anak kesayangannya telah pulang.

pra-judul

Yogyakarta, 11 November 2005..... Bagi kebanyakan orang, bertambahnya usia adalah moment yang membahagiakan, berpesta ria merayakan dengan sanak saudara ataupun teman-teman. Tetapi tidak halnya denganku, menginjak usia 20 tahun ini aku semakin kerdil menghadapi dunia. Usia 20 tahun bagi kebanyakan orang, peralihan dari remaja ke dewasa tetapi sekali lagi aku menyanggahnya. Bagiku usia hanyalah deretan angka yang tiap tahunnya justru menambah penderitaanku. Aku tak merasakan arti kebahagiaan dalam bingkai 20 tahun usiaku. Tetap saja aku merasa Tuhan tidak adil. Di angka 20 tahun ini, bagiku lebih menjadi saksi bisuku. Betapa selama kurun waktu itu ibu meniggalkanku hingga aku bergelut sendiri meraba kelam kehidupan, menahan dingin kesunyian,   dan gemetar setiap kali malam-malam merambat-aku hanya menggigil sepi tanpa pelukan seorang ibu. Dan malam ini aku harus membuka lagi luka lamaku, walaupun begitu menyesakkanku, aku tetap lirih melatunkan salam cintaku dalam lantu...

Masjidnya megah tapi...

Satu hal yang aku cari dari setiap perjalanan adalah masjid. Entah saat mengendarai sepeda motor atau naik bus umum. Aku akan melirik kanan kari, bila yang ku lirik masjid. Pandanganku tertahan menatap menaranya, gaya arsitekturnya dan suasananya. Gaya arsitektur masjid sesuai dengan masyarakat setempat. Misal masjid kota, terletak di alun-alun kota bentuk dan ukuran bisa megah, besar, adesoris kakigrafi dan lekat simbol Islam lainnya. Semakin ke tepi, masjid bisa dihitung dengan jari. Yang banyak musola-musola kecil perkampungan. Bila daerah kota, arsitekturnya bagus, ke tepi lagi musola bangunan biasa. Kadang sampai tidak terawat. Tapi sejauh pengamatanku masjid dan musola tumbuh subur di masyarakat. Bisa dikatakan selisih jarak antar satu masjid dengan musola tidak ebih dari 400 Meter. Ini penghitungan perkampungan normal. Sayangnya kuantitas jumlah masjid berbanding terbalik degan jumlah jamaahnya. Kalau sholat berjamaah, makmum palig banyak satu larik shof sholat. Palin...