Yogyakarta, 11 November 2005.....
Bagi kebanyakan orang, bertambahnya
usia adalah moment yang membahagiakan, berpesta ria merayakan dengan sanak
saudara ataupun teman-teman. Tetapi tidak halnya denganku, menginjak usia 20
tahun ini aku semakin kerdil menghadapi dunia. Usia 20 tahun bagi kebanyakan
orang, peralihan dari remaja ke dewasa tetapi sekali lagi aku menyanggahnya. Bagiku
usia hanyalah deretan angka yang tiap tahunnya justru menambah penderitaanku. Aku
tak merasakan arti kebahagiaan dalam bingkai 20 tahun usiaku. Tetap saja aku
merasa Tuhan tidak adil.
Di angka 20 tahun ini, bagiku lebih menjadi
saksi bisuku. Betapa selama kurun waktu itu ibu meniggalkanku hingga aku
bergelut sendiri meraba kelam kehidupan, menahan dingin kesunyian, dan gemetar setiap kali malam-malam merambat-aku
hanya menggigil sepi tanpa pelukan seorang ibu. Dan malam ini aku harus membuka
lagi luka lamaku, walaupun begitu menyesakkanku, aku tetap lirih melatunkan
salam cintaku dalam lantunan doa yang aku kirimkan kepada ibu di malam yang sunyi
ini.
Tak ada yang ibu titipkan untukku,
selain wajah putihnya. Ibu memberikan hidupnya untukku, pendarahan hebat saat
itu memaksa ibu untuk mengambil keputusan; memberikan kesempatan untukku,
merasakan panasnya mentari. Aku tidak tahu wajah ibu, aku hanya mendengar kata
bibi dan kakak perempuanku- ibu itu orangnya selalu ramah, gemar membantu orang
lain. Parasnya yang cantik, badannya tinggi langsing dibalut dengan kulitnya
yang putih menambah sempurnanya postur tubuh ibu. Memang sulit aku membayangkannya
tapi dengan sifat ibu yang baik, sudah cukup membuatku bangga dan selalu merasa
dekat dengan ibu. Nurma ...itulah panggilannya.
“Ibu, ibu apa ibu mendengar suara
leli, leli ingin ketemu ibu”. Bisikan itu ku yang sudah menjadi theme song
hidupku.
Satu hal yang menggantung di hatiku,
sebulan yang lalu Shelly, kakak perempuanku pernah menyebut-nyebut almarhumah ibu
dangan seorang laki-laki, kalau tidak salah namanya Herman, dia anggota
kepolisian wilayah Sleman, Yogyakarta. Entah apa hubungan keduanya- mungkinkah
dia saudara laki-laki ayah, atau mungkin juga dialah ayahku. Aku tidak tahu
soal ayahku bahkan baik bibi maupun Kak Shelly mereka kompak menutup aksesku
mengetahui identitas ayah. Entahlah- aku juga tak peduli. Laki-laki itu tega
meninggalkan kami setelah kematian ibu. Aku pun malas berhubungan dengan semua
hal yang berkaitan dengan laki-laki tak bertanggung jawab itu. Untunglah, ada
Bibi Salamah yang merawat kami. Curahkan kasih sayang Bibi Salamah kepada kami
sebanding dengan kasih sayang seorang ibu. Tapi, tak mampu menggeser posisi ibu
di hatiku.
Xxxx
Setiap hali mentari menyisingkan
biru langit dengan guratan jingga, aku sudah stand by menyisir jalan malioboro,
jangan salah sangka aku bukan menjual diri tapi aku hanya bermain di jalan. Sebenarnya
aku bosan bermian di tempat seperti ini. Bau parfum yang menyengat menebarkan
kemunafikan yang membuatku mual. Dan aku salah satu parfum itu. Jika bermain
tentang pengandaian apa yang aku dapatkan di sini tak sebanding dengan apa yang
telah aku berikan, pakar ekonomi sekelas Adam Smith pun mungkin
tak mampu melogikan korelasi antara kebutuhan dengan kepuasaan “yang dilarang”.
Paling yang memberikan jawaban jelas, teriakan lantang satgas penertiban
mengabstraksikan “permainanku ”.
Bersambung….
Komentar
Posting Komentar