Bu, ..
Lagi, gerimis menitipkan batu dalam
mataku. Sepasang mata yang menceritakan kisahnya di balik sebuah nama. Untuk
kesekian kalinya batu-batu itu mengganjal tawa yang dulu sempat bercerita.
Waktu mengindahkan mimpi yang menjulang di antara sekat duka dan noda, cerita
pun tertahan pada kerongkonganku padahal mungkin esok waktu tak lagi, aku
mendetik.
Ada doa. Semaian ayat yang ku rapal
di setiap garis tanganku, melekuk, zig-zag hingga garis membuta titik. Bukankah
garis kumpulan titik yang dituliskan, dan aku menitik.
Lagi, doa aku menanam janji. Keangkuhan
meluruh akan nyala yang kubisikan dari sunyi terdiam. Diamku mengukir air mata,
merangkai benih-benih liar yang ku tanam dalam angin. Karena kuasaNya, doa
menangkup kedua tanganku tanpa kata
Ya, Allah...
Untuk langit yang sama, bumi membeda
Sejatinya lagu pun enggan menuliskan
liriknya
Bu ,
Sesuai petuahmu aku berlagu dalam
doaku kepada Allah, aku merayu tentang
fajar memeluk hangat mataku. Waktu telah menghapus jejakku di bumi. Aku
tak naif, anggap saja seorang bocah sedang belajar tersenyum.
Bu, tapi aku terlau rapuh mengenal
kasihNya
Bu,..ibu dengar aku
Bilakah langit mempunyai kaki sekiranya
bumi tak memiliki dada. Dan bilapun langit diam, aku bisa berlari, karena aku
akan menjadi langitmu
Yogyakarta, 24 Februari 2013
Komentar
Posting Komentar