Langsung ke konten utama

Akankah ada Kedamaian di 'Tanah Mama'


Sebuah kesan yang telah lama terpendam akhirnya muntah juga....kesan yang awalnya haya percikan semata lambat laun semakin membesar dengan gesekan-gesekan peristiwa lain yan masih saling terkait.

Ya, sekitar 5 bulan lalu, aku menghadiri sebuah seminar “ Papua Cinta Damai”, di salah satu universitas Islam di Jogja sebuah acara yang digagas dari LSM HAM dan organisasi peduli Papua.

Acara yang berdurasi sekitar dua jam tersebut intinya ‘menggalang aspirasi untuk rakyat Papua’, sederhananya mereka berendah hati menampung saran apapun masyarakat non Papua terhadap masyarakat Papua yang kesulitan di sana.

Suatu sikap kerendahan yang pantas diapresiasi, ibarat saudara jauh yang datang ‘meminta nasehat terhadap solusi permasalahannya’.

Dan benar saja, setiap peserta seminar dihadiahi tiga buah buku ; satu berisi keadaan umum Papua saat ini, kedua berisi ratusan harapan rakyat Papua dan ketiga tentang agenda aspirasi publik masal yang akan dilakukan di Papua, sekitar Desember nanti.

Buku ketiga yang saya garis bawahi, merupakan momentum besar rakyat Papua memberikan aspirasinya. Maunya gimana ? tatanan kehidupan seperti apa? Dan yang paling ekstrim apakah masih bersama Indonesia ?
Rakyat Papua sudah jenuh dengan kehidupan mereka saat ini,,,

Hak dan kekuasaan
Berbicara ‘Tanah Mama’ Papua kita akan latah menyebut, ‘Konflik dan emas’. Kita mengenal Papua penuh konflik dan selalu bergejolak. Sementara ‘emas’, bukanlah menjadi rahasia lagi bahwa Papua memang menyimpan harta karun di dalamnya.

Konflik dan ‘emas’, dua kata yang bertolak belakang namun saling terkait. Karena Papua memiliki ‘emas’ maka timbul konflik.

Anda bisa mencari sendiri berapa kandungan harta karun Papua, berapa persen dan berapa yang sudah tereksplorasi serta berapa keuntungan ekonomi yang diperoleh, tentu menunjukan angka yang fantastis.
Namun aku tidak melangkah ke detil kekayaan, aku mengarah pada konflik yang terjadi. Oke, masih merujuk pada seminar “Papua Cinta Damai”, aku hanya akan memaparkan sedikit luka yang mereka rasakan.

Sahabat Papua, merindukan keadaan damai, suatu kedamaian dimana mereka bisa hidup tenang dengan menjalankan aktivitas sesuai kehendaknya. Di Papua banyak sekali tindakan kriminalisasi warga Papua yang tidak pernah diupayakan proses hukumnya. Siapa peduli, ?

Atas nama ‘emas’ tadi tangan-tangan tidak bertanggung jawab merusak tatanan Papua yang ada. Entah sosial, politik, ekonomi ‘tangan-tangan’ ini merusak kehidupan rakyat Papua.

Salah satunya kasus Tanah ulayat, rakyat Papua yang dirampas atas nama pembangunan. Pembangunan yang tidak mengedepankan aspek kesejahteraan ini memicu konflik. Hingga konflik ini (lagi) ditanam hingga pada waktunya dipanen untuk meluluskan startegi politik tertentu.

Belum lagi, kucuran dana otonmi khusus membangun Papua yang berkemajuan juga tidak terlihat manfaatnya. Permasalahan yang komplek, keadaan, tekanan demi tekanan, membuat Papua jenuh..

Masih kita ingat ketika Bung Karno meneriakan Trikora ( Tiga Komando Rakyat) Pembebasan Papua Barat pada 19 Desember 1961, upaya ini menghendaki Papua kembali pada pangkuan pertiwi.

Namun setelah Papua tergenggam, bagaimana sikap pemerintah Indonesia kepada Papua masih dipertanyakan- pendekatan militer yang kerap dilakukan, kegagalan membangun diplomasi- dan kepemilikan Papua saat ini ? secara fisik termasuk NKRI, namun kepemilikan aset banyak dimiliki oleh asing-


Entahlah keberadaan Papua untuk politik dan kekuasaan ataukah kesejahteraan.. saat ini menjadi hal yang samar- hanya satu yang jelas, Indonesia memiliki teks lagu ini...

Dari sabang sampai merauke
Menjajah pulau-pulau
Sambung memnyambung menjadi satu
Itulah Indonesia
Indonesia tanah airku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku
Tanah airku Indonesia
#prayforPapua #prayIndonesia


Jogjakarta, 25 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pagi, Bude dan Kesepian..

Pagi ini tetanggaku beramai-ramai mengunjungi rumah Bude. Anak Bude dari Jepang telah pulang. Para tetangga bersilaturahim kepadanya. Ibu dan bapaku pun kesana. Ibuku sangat senang mendapat oleh-oleh dari Jepang. Aku dibagikannya, bagiku plastik tulisan huruf Jepang ini sama saja dengan jajanan di Indonesia. Ya, cuma beda merk. Terlepas dari jajanan itu, satu pemandangan kontras, mendadak rumah yang biasa sepi menjadi ramai. Bude menghuni rumah dengan suaminya Pakde. Keduanya sudah lanjut usia. Bahkan Pakde sudah pikun. Setiap harinya rumah Bude seperti rumah kosong. Tapi tidak untuk saat ini, keceriaan tengah menyelimuti keluarga Bude. Anak kesayangannya telah pulang.

pra-judul

Yogyakarta, 11 November 2005..... Bagi kebanyakan orang, bertambahnya usia adalah moment yang membahagiakan, berpesta ria merayakan dengan sanak saudara ataupun teman-teman. Tetapi tidak halnya denganku, menginjak usia 20 tahun ini aku semakin kerdil menghadapi dunia. Usia 20 tahun bagi kebanyakan orang, peralihan dari remaja ke dewasa tetapi sekali lagi aku menyanggahnya. Bagiku usia hanyalah deretan angka yang tiap tahunnya justru menambah penderitaanku. Aku tak merasakan arti kebahagiaan dalam bingkai 20 tahun usiaku. Tetap saja aku merasa Tuhan tidak adil. Di angka 20 tahun ini, bagiku lebih menjadi saksi bisuku. Betapa selama kurun waktu itu ibu meniggalkanku hingga aku bergelut sendiri meraba kelam kehidupan, menahan dingin kesunyian,   dan gemetar setiap kali malam-malam merambat-aku hanya menggigil sepi tanpa pelukan seorang ibu. Dan malam ini aku harus membuka lagi luka lamaku, walaupun begitu menyesakkanku, aku tetap lirih melatunkan salam cintaku dalam lantu...

Masjidnya megah tapi...

Satu hal yang aku cari dari setiap perjalanan adalah masjid. Entah saat mengendarai sepeda motor atau naik bus umum. Aku akan melirik kanan kari, bila yang ku lirik masjid. Pandanganku tertahan menatap menaranya, gaya arsitekturnya dan suasananya. Gaya arsitektur masjid sesuai dengan masyarakat setempat. Misal masjid kota, terletak di alun-alun kota bentuk dan ukuran bisa megah, besar, adesoris kakigrafi dan lekat simbol Islam lainnya. Semakin ke tepi, masjid bisa dihitung dengan jari. Yang banyak musola-musola kecil perkampungan. Bila daerah kota, arsitekturnya bagus, ke tepi lagi musola bangunan biasa. Kadang sampai tidak terawat. Tapi sejauh pengamatanku masjid dan musola tumbuh subur di masyarakat. Bisa dikatakan selisih jarak antar satu masjid dengan musola tidak ebih dari 400 Meter. Ini penghitungan perkampungan normal. Sayangnya kuantitas jumlah masjid berbanding terbalik degan jumlah jamaahnya. Kalau sholat berjamaah, makmum palig banyak satu larik shof sholat. Palin...