Hujan di bukit ilalang. Anak gembala berlari pulang. Namuan sia-sia, dia
terjebak hujan yang terlambat datang. Anak gembala bergegas membawa dombanya
menepi ke sebuah gubuk tua pinggir bukit.
Di luar sana, hujan turun begitu deras. Diselingi kilatan petir
menyambar. Petir menyilang di angkasa meretakan atap langit. Angin ribut
menabrak pohon ilalang. menggoyangkannya ke kiri ke kanan, hingga mencerabut
akarnya sementara bukit telah menjadi
hitam karena jilatan awan gelap langit yang terbakar petir.
Anak gembala hampir mati kedinginan. Kedua tangannya dilipat di depan
dada berharap bisa membuat percikan hangat yang menjalar ke tubuhnya. Kulit
kaki dan jari kaki sudah keriput karena dingin.
Anak gembala tak menyangka hujan akan datang terlambat di bulan Januari,
dia menyangka hujan terakhir di bulan Desember lalu. Namun dia harus pasrah
ramalan cuaca yang disiarkan di radio kini meleset. Langit masih mengendapkan
uap air, yang kapan saja bisa langit turunkan. Termasuk di akhir Januari.
Hujan akhir Januari begitu dasyat, mungkin ini cuaca ektrem el nino yang
mulai terjadi di belahan bumi selatan. Sayangnya, anak gembala tidak mengetahui
dunia luar. Dia hanya mengandalkan transmisi radio berskala rendah, mencari
infomrasi di dunia luar. Hingga berita ini terlambat dia ketahui.
Namun kini nasi sudah menjadi bubur, anak gembala harus bertahan
menghadapi badai yang bisa saja terjadi melahapnya sekaligus enam ekor domba
miliknya.
Di bawah tiang-tiang kayu gubuk tua, anak gembala meringkuk kedinginan.
Dia melingkar dengan enam domba. Rintik-rintik air hujan, menetes merembes
jatuh di keningnya. Tanpa sadar tetesannya semakin banyak, bercampur keringat
dingin dari rasa takut.
Mulut anak gembala tergetar melafalkan doa-doa penyelematan. Merayu
Tuhan menurunkan malaikat bersayap, dan membawanya dari lubang kematian yang
siap menyedotnya-
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar