Seandainya





Selama seminggu terakhir jagad media tanah air gencar memberitakan gadis ABG berinisial YY.  
Nasib kematian YY yang tragis oleh sekawanan 14 pemuda tanggung, benar-benar merobek hati nurani manusia normal yang mendengarnya.

Gadis ABG bau kencur itu menjadi sasaran nafsu bejat 14 pemuda. Gadis ABG itu diperkosa dan dibunuh.

Tidak sampai di situ, mayat YY lalu dibuang tidak jauh dari TKP.  Setelah kejadian itu, opini publik muntah di media-media. Publik melaknat perbuatan keji 14 pemuda tersebut.  Jajaran pejabat pun miris dengan kejadian tersebut.

Publik yang diwakili oleh organisasi perempuan dan HAM mendorong pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada pelaku.   Selain itu kelompok publik tertentu, mendengungkan hukuman mati. Nyawa dibayar nyawa.

Tapi apalah daya. Vonis hakim menghukum para pemuda tersebut berkisar 10 tahun hukuman penjara.  Masyarakat geram.

Lantas apa yang dilakukan? Apa ini dikatakan hukum tajam ke bawah , tumpul ke atas?   Setidaknya secara moral. Hukuman bagi pelaku memang tidak adil.

Tapi inilah sistem hukum positif kita. Untuk memberikan efek jera bagi pelaku pembunuh YY , kita hanya mengandalkan norma hukum saat ini.yang terkesan belum memiliki asas keadilan. 
Kita kini hanya mampu berandai-andai, seandainya sistem hukum positif di Indonesia lebih menjunjung asas keadilan dan progresivitas.

Tentu, pelaku pembunuh YY, akan mendapat hukuman yang setimpal.Namun lagi-lagi, hal ini terkait keberanian pemerintah merombak peraturan hukum positif Indonesia. Supaya tidak lagi terjadi kasus YY yang lain.

Namun semua hanya harapan. Bahkan harapan naif pun terkadang muncul. Untuk sekedar membohongi takdir. Seandainya YY, tidak lewat jalan itu setelah pulang sekolah,  Atau seandainya YY, lewat jalan itu pukul 15.00 waktu sore hari ketika gerombolan pemuda sudah bubar. Dan seandainya YY...mungkin YY masih hidup saat ini. 

11-5-2016

Komentar