Langsung ke konten utama

Puisi rindu ; purnama semesta


Cahaya di atas Cahaya
l. karena segala rupa bermula dari kata,
kun fa yakun.
jadi, jadilah.
firman tuhan menyelimuti tujuh langit dan tujuh bumi. kedua tangan langit merangkul tubuh bumi yang kedinginan karena malam.
malam ini seluruh kalam tuhan merias diri. wajah-wajah mereka berseri menyambut lahirnya purnama ke bumi.
kau adalah bapak cahaya, sosok sempurna ciptaan sang kuasa.
bintang-bintang di pelataran semesta menyalamimu, sementara penghuni bumi berebut menciumimu.
dari desir gurun panas yang menyejukan jiwa. kau menatap cakrawala.
tetumbuhan pasir kering merunduk hormat, setiap kau melangkahkan kaki.
dalam gigil gelap dunia. kau arungi setiap hati yang mati. dibisikannya nama tuhan di telinga manusia
layaknya lentera, kau menyalakan satu. lambat-lambat merembet menjadi sepuluh, seratus, seribu hingga tak terbilang,
percikan-percikan api tauhid yang dipancarkan mebinasakan kelam peradaban itu,
demi malam yang gelap gulita. zaman yang bercahaya telah beranak- ke seluruh negeri,
dan mengendap di hati.
perjalanan hidupmu- bukan soal cerita sukses sosok kenamaan. yang diceritakan dari zaman-zaman yang berlari.
keluhuranmu mahsyur di setiap hela nafas umat. yang tiap tahiyat berdengung sholawat, kerinduan yang berkarat. dari jarak 14 abad.
ll.
wahai nabi allah, dari segala kerapuhan kami, tak satu pun jengkal kami melalaikan ilahi. tapi karena kebodohan hati. kami tenggelam puji duniawi,
bumi semakin tua, engkau pun telah pergi. wasiat mu, telah rampung kami baca. tapi kami tak mengerti, kami larut dalam caci perdebatan, kesombongan diri.
dari mata kami, menjadi saksi. diantara kami, ada yang berjalan membelakangi, mereka mengangkangi ayat-ayat suci,
menjualnya pada pemilik hati berduri.
wahai imam kami, shalawat terindah senantiasa tercurah padamu,
secukupnya meski tak pernah akan cukup, iman yang bergetar naik turun, tak mampu meraih rahmat ilahi,
demi hari yang dijanjikan nanti, kami bermunajat pada yang Rahim, kami bersua denganmu..
membayarkan luapan kerinduan, padamu,
dan memohon syafaatmu, dari keselamatan akhirat.
wahai bapak cahaya.
purnama di atas purnama.
Cilacap, 30 Agustus 2016




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pagi, Bude dan Kesepian..

Pagi ini tetanggaku beramai-ramai mengunjungi rumah Bude. Anak Bude dari Jepang telah pulang. Para tetangga bersilaturahim kepadanya. Ibu dan bapaku pun kesana. Ibuku sangat senang mendapat oleh-oleh dari Jepang. Aku dibagikannya, bagiku plastik tulisan huruf Jepang ini sama saja dengan jajanan di Indonesia. Ya, cuma beda merk. Terlepas dari jajanan itu, satu pemandangan kontras, mendadak rumah yang biasa sepi menjadi ramai. Bude menghuni rumah dengan suaminya Pakde. Keduanya sudah lanjut usia. Bahkan Pakde sudah pikun. Setiap harinya rumah Bude seperti rumah kosong. Tapi tidak untuk saat ini, keceriaan tengah menyelimuti keluarga Bude. Anak kesayangannya telah pulang.

pra-judul

Yogyakarta, 11 November 2005..... Bagi kebanyakan orang, bertambahnya usia adalah moment yang membahagiakan, berpesta ria merayakan dengan sanak saudara ataupun teman-teman. Tetapi tidak halnya denganku, menginjak usia 20 tahun ini aku semakin kerdil menghadapi dunia. Usia 20 tahun bagi kebanyakan orang, peralihan dari remaja ke dewasa tetapi sekali lagi aku menyanggahnya. Bagiku usia hanyalah deretan angka yang tiap tahunnya justru menambah penderitaanku. Aku tak merasakan arti kebahagiaan dalam bingkai 20 tahun usiaku. Tetap saja aku merasa Tuhan tidak adil. Di angka 20 tahun ini, bagiku lebih menjadi saksi bisuku. Betapa selama kurun waktu itu ibu meniggalkanku hingga aku bergelut sendiri meraba kelam kehidupan, menahan dingin kesunyian,   dan gemetar setiap kali malam-malam merambat-aku hanya menggigil sepi tanpa pelukan seorang ibu. Dan malam ini aku harus membuka lagi luka lamaku, walaupun begitu menyesakkanku, aku tetap lirih melatunkan salam cintaku dalam lantu...

Masjidnya megah tapi...

Satu hal yang aku cari dari setiap perjalanan adalah masjid. Entah saat mengendarai sepeda motor atau naik bus umum. Aku akan melirik kanan kari, bila yang ku lirik masjid. Pandanganku tertahan menatap menaranya, gaya arsitekturnya dan suasananya. Gaya arsitektur masjid sesuai dengan masyarakat setempat. Misal masjid kota, terletak di alun-alun kota bentuk dan ukuran bisa megah, besar, adesoris kakigrafi dan lekat simbol Islam lainnya. Semakin ke tepi, masjid bisa dihitung dengan jari. Yang banyak musola-musola kecil perkampungan. Bila daerah kota, arsitekturnya bagus, ke tepi lagi musola bangunan biasa. Kadang sampai tidak terawat. Tapi sejauh pengamatanku masjid dan musola tumbuh subur di masyarakat. Bisa dikatakan selisih jarak antar satu masjid dengan musola tidak ebih dari 400 Meter. Ini penghitungan perkampungan normal. Sayangnya kuantitas jumlah masjid berbanding terbalik degan jumlah jamaahnya. Kalau sholat berjamaah, makmum palig banyak satu larik shof sholat. Palin...