Sekolah Tua dimuat di Radar Banyuwangi 21 Oktober 2021

 

https://radarbanyuwangi.jawapos.com/nasional/75897861/sekolah-tua

Aku suka melihat burung-burung terbang, hinggap di genting lalu mendarat di pelataran memakan sisa padi. Satu dua burung beterbangan membelah angkasa, keduanya melayang sesekali mengepakkan sayapnya. Aku memandang lurus ke arah burung yang beterbangan ke angkasa, sampai-sampai aku tak fokus arah langkahku bahkan aku pun tak fokus mendengar percakapanmu yang berjalan beriringan denganku. Sesekali aku melihat kedua matamu yang berbinar, lalu kualihkan pandang lagi ke angkasa.

Burung-burung itu mengajarkan kebebasan, mereka menyapa cakrawala yang luas, kisah tentang musim yang basah atau kerumitan takdir yang tak tentu arah tak pernah mereka risaukan. Burung-burung kecil kali ini terbang rendah di antara dua gedung baru sekolah tua itu. Tampak dari kejauhan induk burung menyambut kedatangan burung kecil di rumah mereka. Rumah mereka itu sebenarnya lubang sempit di sela genting yang berlubang. Entah mereka mematuk kayu alas genting itu atau tidak, seingatku dua bulan lalu lubang genting tidak terlalu lebar seperti sekarang. Tak lama burung-burung kecil menyusul burung pertama ke sarang itu. Sekiranya keluarga burung itu telah menjadikan lubang di sela genting itu gerbang rumah mereka yang baru, yakni ruang gudang sekolah tua itu. Keberadaan keluarga burung itu menjadi penghuni kedua setelah penghuni manusianya semakin jarang terlihat, entah karena sudah bosan atau tak ada kepentingan.

“Hey, kau dari tadi tak mendengarku?”

“Oh, maaf aku mendengarmu tapi.. aku terhipnotis dengan suara cericit burung-burung itu.” Tanganku menunjuk burung-burung yang hinggap di atas genting.

“Benar hanya melihat burung-burung itu, bukan tentang gedung sekolah tua itu kan?”

“ Memang kenapa?”

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Matanya memandangku, seolah ada yang ingin dikatakan tapi tertahan sesuatu, dia palingkan wajah berjalan mempercepat langkah. Aku mempercepat langkah mengejarnya hingga kita sampai di ladang.

“Sepertinya ada yang kamu sembunyikan, tatapan ingin membicarakan sesuatu, tapi...”

Dia menunduk, matanya memandang hamparan ladang ilalang yang berada di samping gedung sekolah tua itu. Dia berjalan pelan lalu duduk. Aku pun duduk di sampingnya.

“Kamu ingat sewaktu kita ikut seminar bisnis di kampus, jenis bisnis apa yang paling menguntungkan?”

“Apa? Em..bisnis kuliner, properti,..”

“Bisa saja semuanya benar, semua di dunia ini adalah barang-barang yang bisa dijual..”

“Maksudmu?”

Dia menatap mataku lekat, aku sedikit gugup.

“Esok kau akan menemukan jawabannya sendiri.” Jawabnya singkat.

***

Sepulang dari ladang bersamamu, aku sudah melupakan pembicaraan itu. Satu hal yang membuatku penasaran, di teras rumah ayah sedang berdiskusi dengan dua orang kawan, satu orang usia 50an tahun pemuka agama kampung sebelah, dan seorang lagi kepala desa kami. Aku menyapa mereka, ayah mengenalkan aku sebagai anak kebanggaan desa ini, seorang calon sarjana pertanian—yang diharapkan bisa memajukan pertanian di desa kami kelak. Aku hanya tersenyum, lalu masuk rumah tidak ingin terlibat pembicaraan mereka. Aku masuk kamar, kulihat tumpukan jurnal penelitian yang harus kuulas selesai tiga hari ini, aku mengela nafas sepertinya aku tidak mampu mengerjakan sendiri.

Malam harinya aku ke rumahmu membawa setumpuk tugas yang akan kudiskusikan denganmu. Di sana ada ayahku, ayahmu dengan tiga orang temannya yang kutemui di teras rumah Siang tadi. Aku mengabarinya, aku masuk lewat pintu belakang menghindari ayahku. Kamu menemuiku di pintu belakang, mengajakku ke ruang tengah. Kau menyuguhkan dua gelas kopi hangat.

“Sejak kapan kau mulai minum kopi?”

“Sejak aku mengenalmu, dibebani banyak tugas memaksaku harus terjaga tengah malam...”

Kalimat akhir terdengar sedikit ketus.

“Kalau begitu jangan minum, dua gelas buatku saja kamu buat teh saja.”

Kamu tidak mengindahkanku, berpura-pura serius membaca jurnal yang kubawa. Aku beranjak pergi ke dapur membuatkan segelas teh. Kuhidangkan teh di hadapanmu, kau membiarkannya. Tiba-tiba kau menarik lenganku duduk di sampingmu, menyentuh bibirku dengan telunjukmu.

“Prang!”

Terdengar suara gelas pecah dari ruang tamu diiringi suara pertengkaran yang hebat.

Bangunan sekolah tua itu wakaf dari simbah, tidak bisa sembarang dirobohkan harus ada musyawarah dengan pihak keluarga!”

“Pihak keluarga sudah melempar kepengurusan dan pengelolaan ke orang lain, penerus yang ditunjuk itu sudah angkat tangan dengan nasib sekolah yang memburuk, lihat sekolah tua itu sudah lapuk, bangunannya sudah ambruk, muridnya semakin sedikit...sudah jual saja! Bapak sebagai guru bisa ngabdi di sekolah lain yang lebih baik.”

“Kita sadari saja, Bapak sudah berjuang dengan sekolah itu kita hargai, tapi kita juga harus sadar realistis sulit kiranya mempertahankan sekolah itu.”

“Masih ada siswa kami di sana, satu atau dua siswa mereka amanah yang Tuhan titipkan kepada kami, amanah para wali murid yang masih percaya kepada sekolah kami, mereka anak-anak kurang mampu, sejelek-jeleknya sekolah kami, kami tidak pernah memungut biaya sekolah...itu nasehat leluhur kami, bahwa sekolah itu dibangun untuk ummat.”

“Sekolah itu cepat atau lambat akan tutup, karena tidak bisa bersaing dengan zaman, ingat zaman terus berubah... percuma bertahan dengan pemikiran kolot seperti itu. Sejauh ini pun tidak ada perubahan perbaikan dari manajemen sekolah itu!”

Kalimat terakhir pecah dengan air mata, ya itu kalimat yang ayahku katakan kepada mereka. Aku bergegas keluar menemui mereka.

“Sampai kapan pun, kami tidak akan menjual tanah sekolah itu!”kataku keras kepada mereka.

***

Tiga hari setelah kejadian itu, ayah seperti biasa pergi ke sekolah mengajar murid-muridnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Semua berjalan seperti biasanya, yang berbeda adalah sikapmu terhadapku. Kamu tentu membela ayahmu, aku mengerti itu. Aku pun mecoba mengerti urusan kedua orang kita, rupanya mendinginkan hubungan kita.

Hari terus berganti hari, gedung sekolah ayah kebakaran tanpa sebab yang jelas. Ada yang bilang ada yang sengaja membakar tapi itu cuma kabar burung. Bangunan rusak total, sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar di sana. Sisa guru dan siswa pindah ke sekolah lain. Ayahku mulai merenung. Terakhir ketika aku melewati rumahmu, aku melihat mereka lagi. Keeseokan harinya pemuka agama itu, membeli ladang di samping runtuhan sekolah itu. Dengar-dengar di sana akan dibangun tempat ibadah dan yayasan sekolahan baru.

***

Burung-burung terbang mengitari angkasa, mengejar kebebasannya, memeluk kesunyiannya.

Sepasang Burung Gereja terbang rendah hinggap di atas bangunan baru itu terlihat sangat damai.”

Aku menoleh, tak kusadar kamu berdiri di belakangku, memandang reruntuhan sekolah tua dan pembangunan sekolah baru.

“Iya, mereka hidup tenang dan harmoni seperti kita.”

Cilacap, 2 Juli 2021


Komentar