https://radarbanyuwangi.jawapos.com/nasional/75897861/sekolah-tua
Aku suka melihat burung-burung
terbang, hinggap di genting lalu mendarat di pelataran memakan sisa padi. Satu
dua burung beterbangan membelah angkasa, keduanya melayang sesekali mengepakkan
sayapnya. Aku memandang lurus ke arah burung yang beterbangan ke angkasa,
sampai-sampai aku tak fokus arah langkahku bahkan aku pun tak fokus mendengar
percakapanmu yang berjalan beriringan denganku. Sesekali aku melihat kedua
matamu yang berbinar, lalu kualihkan pandang lagi ke angkasa.
Burung-burung itu mengajarkan
kebebasan, mereka menyapa cakrawala yang luas, kisah tentang musim yang basah
atau kerumitan takdir yang tak tentu arah tak pernah mereka risaukan.
Burung-burung kecil kali ini terbang rendah di antara dua gedung baru sekolah
tua itu. Tampak dari kejauhan induk burung menyambut kedatangan burung kecil di
rumah mereka. Rumah mereka itu sebenarnya lubang sempit di sela genting yang
berlubang. Entah mereka mematuk kayu alas genting itu atau tidak, seingatku dua
bulan lalu lubang genting tidak terlalu lebar seperti sekarang. Tak lama
burung-burung kecil menyusul burung pertama ke sarang itu. Sekiranya keluarga
burung itu telah menjadikan lubang di sela genting itu gerbang rumah mereka
yang baru, yakni ruang gudang sekolah tua itu. Keberadaan keluarga burung itu
menjadi penghuni kedua setelah penghuni manusianya semakin jarang terlihat,
entah karena sudah bosan atau tak ada kepentingan.
“Hey, kau dari tadi tak mendengarku?”
“Oh, maaf aku mendengarmu tapi.. aku terhipnotis
dengan suara cericit burung-burung itu.” Tanganku menunjuk burung-burung yang
hinggap di atas genting.
“Benar hanya melihat burung-burung
itu, bukan tentang gedung sekolah tua itu kan?”
“ Memang kenapa?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku.
Matanya memandangku, seolah ada yang ingin dikatakan tapi tertahan sesuatu, dia
palingkan wajah berjalan mempercepat langkah. Aku mempercepat langkah
mengejarnya hingga kita sampai di ladang.
“Sepertinya ada yang kamu
sembunyikan, tatapan ingin membicarakan sesuatu, tapi...”
Dia menunduk, matanya memandang
hamparan ladang ilalang yang berada di samping gedung sekolah tua itu. Dia
berjalan pelan lalu duduk. Aku pun duduk di sampingnya.
“Kamu ingat sewaktu kita ikut seminar
bisnis di kampus, jenis bisnis apa yang paling menguntungkan?”
“Apa? Em..bisnis kuliner,
properti,..”
“Bisa saja semuanya benar, semua di
dunia ini adalah barang-barang yang bisa dijual..”
“Maksudmu?”
Dia menatap mataku lekat, aku sedikit
gugup.
“Esok kau akan menemukan jawabannya
sendiri.” Jawabnya singkat.
***
Sepulang dari ladang bersamamu, aku
sudah melupakan pembicaraan itu. Satu hal yang membuatku penasaran, di teras
rumah ayah sedang berdiskusi dengan dua orang kawan, satu orang usia 50an tahun
pemuka agama kampung sebelah, dan seorang lagi kepala desa kami. Aku menyapa
mereka, ayah mengenalkan aku sebagai anak kebanggaan desa ini, seorang calon
sarjana pertanian—yang diharapkan bisa memajukan pertanian di desa kami kelak.
Aku hanya tersenyum, lalu masuk rumah tidak ingin terlibat pembicaraan mereka.
Aku masuk kamar, kulihat tumpukan jurnal penelitian yang harus kuulas selesai
tiga hari ini, aku mengela nafas sepertinya aku tidak mampu mengerjakan
sendiri.
Malam harinya aku ke rumahmu membawa
setumpuk tugas yang akan kudiskusikan denganmu. Di sana ada ayahku, ayahmu
dengan tiga orang temannya yang kutemui di teras rumah Siang tadi. Aku
mengabarinya, aku masuk lewat pintu belakang menghindari ayahku. Kamu menemuiku
di pintu belakang, mengajakku ke ruang tengah. Kau menyuguhkan dua gelas kopi hangat.
“Sejak kapan kau mulai minum kopi?”
“Sejak aku mengenalmu, dibebani
banyak tugas memaksaku harus terjaga tengah malam...”
Kalimat akhir terdengar sedikit
ketus.
“Kalau begitu jangan minum, dua gelas
buatku saja kamu buat teh saja.”
Kamu tidak mengindahkanku,
berpura-pura serius membaca jurnal yang kubawa. Aku beranjak pergi ke dapur
membuatkan segelas teh. Kuhidangkan teh di hadapanmu, kau membiarkannya.
Tiba-tiba kau menarik lenganku duduk di sampingmu, menyentuh bibirku dengan
telunjukmu.
“Prang!”
Terdengar suara gelas pecah dari
ruang tamu diiringi suara pertengkaran yang hebat.
“Bangunan sekolah tua itu wakaf dari
simbah, tidak bisa sembarang dirobohkan harus ada musyawarah dengan pihak
keluarga!”
“Pihak keluarga sudah melempar
kepengurusan dan pengelolaan ke orang lain, penerus yang ditunjuk itu sudah
angkat tangan dengan nasib sekolah yang memburuk, lihat sekolah tua itu sudah
lapuk, bangunannya sudah ambruk, muridnya semakin sedikit...sudah jual saja!
Bapak sebagai guru bisa ngabdi di sekolah lain yang lebih baik.”
“Kita sadari saja, Bapak sudah
berjuang dengan sekolah itu kita hargai, tapi kita juga harus sadar realistis
sulit kiranya mempertahankan sekolah itu.”
“Masih ada siswa kami di sana, satu
atau dua siswa mereka amanah yang Tuhan titipkan kepada kami, amanah para wali
murid yang masih percaya kepada sekolah kami, mereka anak-anak kurang mampu,
sejelek-jeleknya sekolah kami, kami tidak pernah memungut biaya sekolah...itu
nasehat leluhur kami, bahwa sekolah itu dibangun untuk ummat.”
“Sekolah itu cepat atau lambat akan
tutup, karena tidak bisa bersaing dengan zaman, ingat zaman terus berubah...
percuma bertahan dengan pemikiran kolot seperti itu. Sejauh ini pun tidak ada
perubahan perbaikan dari manajemen sekolah itu!”
Kalimat terakhir pecah dengan air
mata, ya itu kalimat yang ayahku katakan kepada mereka. Aku bergegas keluar
menemui mereka.
“Sampai kapan pun, kami tidak akan
menjual tanah sekolah itu!”kataku keras kepada mereka.
***
Tiga hari setelah kejadian itu, ayah
seperti biasa pergi ke sekolah mengajar murid-muridnya seolah tidak pernah
terjadi apa-apa. Semua berjalan seperti biasanya, yang berbeda adalah sikapmu
terhadapku. Kamu tentu membela ayahmu, aku mengerti itu. Aku pun mecoba
mengerti urusan kedua orang kita, rupanya mendinginkan hubungan kita.
Hari terus berganti hari, gedung
sekolah ayah kebakaran tanpa sebab yang jelas. Ada yang bilang ada yang sengaja
membakar tapi itu cuma kabar burung. Bangunan rusak total, sudah tidak ada
kegiatan belajar mengajar di sana. Sisa guru dan siswa pindah ke sekolah lain.
Ayahku mulai merenung. Terakhir ketika aku melewati rumahmu, aku melihat mereka
lagi. Keeseokan harinya pemuka agama itu, membeli ladang di samping runtuhan
sekolah itu. Dengar-dengar di sana akan dibangun tempat ibadah dan yayasan
sekolahan baru.
***
Burung-burung terbang mengitari
angkasa, mengejar kebebasannya, memeluk kesunyiannya.
“Sepasang Burung Gereja terbang
rendah hinggap di atas bangunan baru itu terlihat sangat damai.”
Aku menoleh, tak kusadar kamu berdiri
di belakangku, memandang reruntuhan sekolah tua dan pembangunan sekolah baru.
“Iya, mereka hidup tenang dan harmoni
seperti kita.”
Cilacap,
2 Juli 2021
Komentar
Posting Komentar